REFLEKSI

Kalau Bisa Jahat, Mengapa Harus Baik?

Muhammad Rafi Fakhriananda
4 min readSep 16, 2020
Foto dari Pexels

Sejak kelahirannya, manusia diberikan akal oleh Tuhan sebagai perangkat untuk mengenali mana yang baik dan mana yang buruk. Kehidupan, sebagaimana yang sedang kita lalui bersama, tidak melulu tentang kebaikan saja, tapi di dalamnya ada pula kejahatan.

Untuk mengenali kejahatan dan kebaikan, manusia tidak bisa lepas dari ilmu pengetahuan. Ia harus tahu, karena ketidaktahuan hanya akan menyeret manusia pada jurang kebodohan, dan kebodohan adalah salah satu bentuk keburukan.

Namun, pertanyaan yang sedikit mengusik saya ialah: kalau memang ada kebaikan, ada kebajikan, nilai yang agung, dan di sisi lain ada kejahatan, keburukan, dan ketercelaan, mengapakah kita harus berbuat baik?

Tak bisakah kita berbuat jahat atau melakukan keburukan saja?

Satu paket dalam diri kita, sebagai manusia, Tuhan telah memberi apa yang sering disebut sebagai kehendak bebas (yang tentu ada batasnya). Kehendak ini berguna untuk memfasilitasi kita dalam memilih suatu keputusan.

Dalam kehidupan, orang seringkali bilang bahwa memilih adalah hal yang tersulit. Bagi saya, tidak demikian. Yang tersulit bukanlah memilih, tetapi bertahan pada pilihan.

Oleh karenanya, sebelum memilih, manusia mau tidak mau harus mengetahui apa yang hendak dipilihnya dan apa konsekuensi setelahnya. Hanya dengan cara itulah, manusia bisa lebih merasa tenang ketika memilih sesuatu.

Kita cenderung memilih hal-hal yang baik untuk diri sendiri. Dan, tak pernah mau sedikitpun memberi celah pada kesalahan atau kerugian sekecil apapun untuk menimpa kita.

Manusia memiliki sifat egoistis yang bersemayam. Ego semacam ini, punya andil juga, setidaknya untuk membuat kita terus berhati-hati sebelum menjatuhkan pilihan.

Pada tataran tertentu, bersikap egoistis memang merupakan keburukan. Tapi, sekadar menginginkan kebaikan untuk diri sendiri, saya kira bukanlah bentuk keegoisan yang buruk.

Definisi egois adalah mementingkan diri sendiri. Dan, pada konteks yang sangat luas, orang sebenarnya berbuat baik juga atas dasar ego itu. Rasa egois lah yang mendorong kita berbuat kebajikan.

Rasanya agak bertentangan memang, bagaimana mungkin sifat buruk justru menjadi pemantik bagi sifat baik? Dari “biji” tercela tumbuh menjadi “buah” yang bermanfaat?

Rasa egois yang ada dalam diri kita, sebenarnya adalah rasa menghendaki kebaikan untuk diri sendiri. Kita hanya ingin mendapatkan hal-hal yang baik-baik saja. Tak ada orang di dunia ini (setidaknya mereka yang masih normal), yang bersikeras untuk terus menerus mendapatkan kejahatan atau keburukan agar menimpa dirinya.

Bahkan, sekelas Hitler pun tak akan menampik hal itu. Hitler pasti menganggap bahwa tindakan pembantaian orang-orang Yahudi adalah tindakan yang “ada baiknya” juga. Motivasinya yang ingin menegaskan supremasi ras Arya, dipandang oleh dirinya sebagai suatu kebaikan tersendiri.

Dengan membasmi Yahudi, Hitler ingin dipuja-puji bak dewa. Ia ingin diingat dan dicatat dalam buku sejarah bangsa Jerman hingga berabad-abad selanjutnya sebagai seorang “pahlawan” ras Arya.

Ini adalah bentuk keegoisan seorang Hitler. Namun, poin yang hendak ditekankan: ia tetap menghendaki kebaikan untuk dirinya sendiri, bukan keburukan.

Tapi, jika memang yang ia lakukan adalah demi kebaikan dirinya juga, mengapa tindakan yang muncul kemudian adalah satu bentuk kebiadaban yang dahsyat?

Masalahnya, ia (Hitler) hanya menyandarkan tolok ukur baik-buruk suatu perbuatan pada kepentingan golongannya saja. Ia tak melihat pada konteks yang lebih luas, yaitu kemanusiaan. Sehingga, bagi diri Hitler dan pengikutnya, tindakannya (mungkin) benar, tetapi tindakan itu tetaplah terkutuk bagi kemanusiaan.

Dalam buku The Law of Attraction karya Michael J. Losier, dituliskan bahwa semesta akan memberi kita apa-apa yang sering kita pikirkan atau lakukan. Semesta tak peduli apakah kita menyukainya ataupun tidak. Semesta hanya melakukan “tugasnya” untuk memberi apa yang paling sering kita “tarik”.

Itulah Hukum Ketertarikan Semesta. Jika kita kerap memikirkan dan melakukan hal yang bersifat negatif, semesta akan merespons dengan “dorongan” yang negatif pula.

Contoh yang sering diberikan: seorang ibu keluar rumah dengan perasaan was-was dan khawatir berlebihan (bukan hati-hati), karena takut dirinya akan bertemu dengan tukang copet.

Celakanya, pikiran negatif itulah yang akhirnya “menarik” semesta untuk menghadirkan pencopet di jalan yang akan dilalui oleh ibu tadi. Sehingga, sang ibu bisa saja benar-benar bertemu dengan tukang copet.

Konsep Hukum Ketertarikan Semesta ini, menurut saya, juga punya irisan besar dengan hadis qudsi. “Aku menurut persangkaan hamba-ku kepadaku” yang punya makna bahwa Allah menggerakkan semesta (causa prima) untuk menghadirkan apa-apa yang sering kita pikirkan. Tak peduli apakah sejatinya ia baik atau buruk untuk kita.

Dalam prinsip Islam yang lain, Nabi Muhammad Saw bersabda, “Cintailah orang lain, sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri”. Sabda Baginda Nabi juga memiliki spirit yang sama bahwa segala hal yang kita pikirkan dan yang sering kita lakukan, sejatinya akan kembali pula pada diri kita sendiri.

Oleh karenanya, mereka yang sering berbuat jahat, tak bisa mengharapkan dirinya akan dilimpahi kebaikan, karena mekanisme semesta tak begitu adanya. Berharaplah kebaikan dan lakukan kebaikan, itu satu-satunya jalan menuai hal yang baik-baik dalam kehidupan.

Dengan demikian, saya berkesimpulan: inilah alasan kita harus berbuat baik pada orang, lingkungan, dan semesta.

Semestalah yang kemudian merespons kebaikan dalam pikiran dan tindakan kita dengan mewujudkan kebaikan pula dalam momen kehidupan yang sedang kita jalani.

--

--

No responses yet