Rasa dan Peradaban
Semasa kecil, mungkin ketika baru saja masuk Sekolah Dasar, orang tua saya di rumah selalu membiasakan anak-anaknya untuk menjawab panggilan dengan kata-kata “dalem”. Kebiasaan yang menurut saya pada seumuran itu, adalah kebiasaan yang remeh dan sepele. Namun, perlahan semakin beranjak dewasa, saya mulai memikirkan kembali tentang cap “remeh” dan “sepele” yang sempat saya sematkan itu.
Saya memang mempunyai ayah dan ibu yang berasal dari Suku Jawa. Sehingga, amatlah wajar apabila banyak kebiasaan di rumah berlatar belakang adat istiadat jawa. Salah satunya adalah tentang menjawab panggilan dari orang tua.
“Maaas….”
“Dalem”
Kapanpun waktunya dan apapun keperluannya, pokoknya ketika orang tua memanggil, maka harus dijawab dengan kata-kata “dalem”.
Sewaktu-waktu saya pernah keceplosan. Ketika orang tua memanggil, reflek saya justru menjawab dengan kata “apa” atau kata “iya”. Walhasil, hanya gara-gara salah memilih redaksi saja, saya bisa kena marah dari orang tua. Di masa itu saya berpikiran bahwa hal semacam ini pastilah tidak terlalu penting untuk diperhatikan. Pikiran itulah yang kemudian semakin saya tumbuh dewasa, pelan-pelan mulai meralat dirinya sendiri.
Saya kemudian menggugat dalam hati, sebenarnya bukankah seharusnya sah-sah saja menjawab panggilan orang tua dengan jawaban “iya” atau “apa”? Mengapa harus menggunakan kata “dalem” ? Tak bisakah ditukar dengan kata-kata lainnya?
Semasa kecil, ada berbagai macam gugatan-gugatan yang kerap muncul dalam kepala seorang anak. Yang banyak diantaranya merupakan gugatan terhadap pola pendidikan yang diterapkan kedua orang tuanya.
Hal yang lumrah terjadi adalah anak-anak belum mampu menangkap pelajaran berharga dari apa yang coba dibiasakan oleh kedua orang tuanya selama di rumah. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi. Salah satunya adalah memang kemampuan merasa dan menalar masih dalam tahap perkembangan. Sehingga, amat lumrah apabila anak-anak belum memahami esensi dari “kebijakan” orang tua selama mendidiknya.
Salah satunya adalah tentang “hukum kebiasaan” orang tua saya selama di rumah yang membiasakan saya untuk menjawab panggilan dari orang yang lebih tua (terkhusus orang tua itu sendiri) dengan jawaban standar yaitu kata “dalem”.
Mungkin bagi kita dulu, hal-hal semacam ini tidaklah begitu penting. Ada apa memangnya dengan menjawab panggilan orang tua? Bukankah itu tidak akan berpengaruh apa-apa terhadap tetangga, bangsa, negara, dan agama? Kan ya juga ngga otomatis mengurangi hutang negara kita, lha terus apa pentingnya?
Dari pertanyaan semacam itulah saya mulai memikirkan baik-baik. Sebenarnya ada apa dibalik penggunaan kata “dalem” ini?
“Dalem” sendiri berasal dari Bahasa Jawa Halus atau yang biasa disebut Kromo Inggil. Artinya adalah “saya”. Jadi kalau dipanggil orang tua, kemudian dijawab “dalem” maka itu sama saja menjawab dengan “saya”.
Bahasa sendiri dapat dianggap sebagai simbol. Manusia berkomunikasi dan mengekspresikan gagasan dan emosi salah satunya menggunakan bahasa. Maka bahasa sangatlah erat kaitannya dengan rasa.
Dalam konteks panggilan-jawaban ala orang jawa, kata “dalem” dianggap lebih halus dan sopan dari kata-kata lainnya. Ada kata “iya”, “saya”, dan “kulo” tetapi kata “dalem” tetap tidak bisa digantikan posisi dan rasanya.
Oleh karenanya juga, penggunaan bahasa sebagai simbol juga sangat dipengaruhi oleh adat dan istiadat setempat. Mungkin kalau orang non suku jawa, tidak akan begitu sensitif membedakan kata “iya” dan “dalem”.
Rasa atau sensitivitas untuk membedakannya sangatlah subjektif tergantung adat istiadat yang telah menjadi kebiasaan. Semakin sering suatu kata dibiasakan, maka pastilah akan semakin kuat kesan yang ditangkap ketika menggunakannya.
Kesan yang timbul dari penggunaan kata “dalem” misalnya, akan lebih terasa apabila baik yang mendengar dan menjawab terbiasa hidup dalam kultur masyarakat jawa. Kesannya adalah lebih menghormati orang yang lebih tua dan sikap “merendah” dari orang yang lebih muda.
Kesan yang lebih universalnya adalah sikap penghormatan kepada orang yang lebih tua. Kesan ini tidak tunggal hanya ada dalam kultur masyarakat jawa, tetapi juga ada dalam kultur masyarakat lainnya. Tentu, berbeda kultur akan menyebabkan perbedaan pula dalam mengekspresikannya.
Pembiasaan ini juga bertalian erat dengan pendidikan adab. Nilai yang ingin ditanamkan kepada anak selagi kecil adalah saling menghormati. Namun, nilai tersebut disamarkan dengan melatih anak untuk menjawab panggilan orang tua dengan jawaban yang sopan.
Sekilas nampak remeh, tapi sebenarnya hal ini begitu mendasar. Ketika anak kecil telah dibiasakan oleh kedua orang tuanya untuk memegang nilai “penghormatan terhadap yang lebih tua”, maka semakin beranjak dewasa, ia akan lebih mudah menerapkannya dalam lingkungan masyarakat.
Sang anak akan tumbuh dengan suatu sikap adab. Salah satunya adalah pada penghormatan pada orang yang lebih tua. Pendidikan semacam ini — dengan berbagai macam variasinya — memang bukanlah pola pendidikan yang mudah diterapkan.
Pola seperti ini membutuhkan konsistensi dan waktu yang panjang. Semata-mata agar muncul efek pembiasaan dan ketika tumbuh dewasa, sang anak bisa memahami bukan lagi dalam tataran ekspresi, tapi juga substansi. Bukan soal pilihan katanya, tapi bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan penuh penghormatan.
Maraknya hoax, pejabat yang korupsi, politik yang memecah belah, dan banyak masalah lain di negeri ini semuanya bersumber dari kualitas manusia Indonesia. Sumber Daya Manusia Indonesia saat ini masih banyak yang belum beradab.
Pendidikan sederhana tentang adab yang dimulai dari keluarga dapat menjadi salah satu solusi jangka panjang untuk membenahi kualitas adab manusia Indonesia. Dengan meng-adabkan diri sendiri, setidaknya kita telah turut melaksanakan secara aktif dan konsekuen Pancasila sila ke-2 yakni Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
Kata “dalem” hanyalah satu dari sekian banyak pilihan kata dalam khazanah kebudayaan Indonesia, yang dapat mencerminkan suatu sikap sopan santun. Pada intinya, letak pemahamannya bukan dipersempit pada pilihan kata yang digunakan. Tapi lebih kepada substansi yang ingin diekspresikan.
Ekspresi masyarakat jawa akan berbeda dengan masyarakat sunda. Pun juga masyarakat sunda dengan masyarakat lainnya di seluruh Indonesia maupun dunia. Namun, substansi yang ingin disampaikan tetaplah sama. Yaitu, saling menghormati sesama manusia.
Utamanya adalah kepada orang tua yang telah membesarkan kita, mendidik dari kecil hingga tumbuh dewasa. Yang sedari buaian sampai liang lahat, kasihnya tak berkurang sedikitpun pada anak-anaknya.
Pendidikan adab juga akan berhubungan dengan perasaan. Ketika kita menjaga adab dalam berhubungan dengan orang lain, akan timbul perasaan saling menghormati dan saling menghargai. Dengan perasaan yang positif akan muncul generasi yang positif.
Dan generasi positif adalah bibit utama peradaban positif. Dari pendidikan kecil di rumah, kita sedang mengolah adab dan rasa. Dari pola asuh, kita sedang merencanakan peradaban yang maju.
Dari rumah yang baik untuk dunia yang lebih baik.
Wallahu A’lam Bisshowab.